Seorang yang memiliki
kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji maka hendaknya dia segera melaksanakan
ibadah haji. Dia berusaha menyempurnakan rukun Islām yang lima.
Sungguh indah seorang
yang bertemu dengan Allāh dan ternyata dia telah menyempurnakan rukun Islām
yang lima. Dia sudah bersyahadat, dia sudah shalāt, dia sudah zakat, dia sudah
puasa dan dia juga sudah berhaji.
Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam bersabda :
مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ
قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيْضُ وَتَضِلُّ الضَالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ
“Barangsiapa ingin
berhaji maka bersegeralah, karena sesungguhnya bisa jadi seorang itu sakit,
bisa jadi tunggangannya yang dia gunakan untuk berhaji ternyata hilang (tidak
bisa dia gunakan lagi artinya ada halangan), bisa jadi ada kebutuhan yang
datang (sehingga dia tidak bisa berhaji).” (HR Ibnu Majah No. 2874 dan
dishahihkan oleh Al-Albani namun dilemahkan oleh sebagian ulama)
Maka, seseorang bila
sudah mempunyai uang, segera dia daftar, dia berazam kepada Allāh Subhānahu wa
Ta’āla. Kalau dia tunda-tunda dia tidak tahu dikemudian hari mungkin dia sakit,
mungkin dia meninggal dunia, mungkin dia punya kebutuhan yang lain.
Bisa jadi tiba-tiba
dia dihadapkan dengan kondisi-kondisi yang sulit sehingga akhirnya uangnya
harus dia gunakan untuk memenuhi kondisi-kondisi tersebut sehingga tidak bisa
berhaji. Seseorang tidak tahu apa yang akan datang dan terjadi di esok hari.
Maka jika dia memiliki kemampuan hendaknya dia bersegera berhaji memenuhi
panggilan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, menjadi tamu-tamu Allāh Subhānahu wa
Ta’āla.
Terlebih lagi
sebagian daerah di negeri kita daftar tunggunya hingga 20 tahun lebih. Bahkan
di sebagian negara Islam daftar tunggunya hingga 40 tahun. Bisa jadi seseorang
mendaftar untuk haji, tatkala namanya keluar dia telah lebih dahulu dipanggil
Allah. Akan tetapi barangsiapa yang sudah mendaftarkan dirinya semoga ia tetap
memperoleh pahala haji, karena dia sudah berusaha.
Memang para ulamā
berbeda pendapat tentang apakah kewajiban haji itu kewajiban عَلَى الْفَوْرِ
(harus segera dilakukan) ataukah عَلَى التَّرَاخِي (bisa ditunda)?
Jumhūr ulamā
berpendapat bahwasanya kewajiban haji itu harus segera, berbeda dengan pendapat
ulamā Syāfi’iyah yang mengatakan عَلَى التَّرَاخِي (bisa ditunda) tidak
mengapa.
Pendapat yang kuat
adalah pendapat jumhūr ulamā bahwasanya kewajiban haji itu harus segera
dilakukan. Artinya jika seseorang mampu untuk berhaji telah memiliki kemampuan
fisiknya kuat dan uangnya juga ada.
Maka hendaknya dia
segera melaksanakan ibadah haji dan dia tidak menunda-nundanya. Karena dia
tidak tahu apa yang akan dia hadapi dikemudian hari -sebagaimana telah
disebutkan dalam hadits di atas-.
Lagi pula secara
logis bahwasanya namanya perintah harusnya segera kita laksanakan. Oleh
karenanya, Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberi hukuman kepada Iblīs tatkala
disuruh sujud kepada Ādam dia menolak. Kenapa ?, Karena dia harus segera
bersujud kepada Ādam. Tatkala dia menolak untuk segera sujud kepada Adam, maka
Allāh tidak memberi kesempatan bagi dia (Iblīs) untuk sujud di lain waktu, maka
Allāh menghukum Iblīs yang menolak untuk bersujud kepada Ādam tatkala itu.
Dalam masalah ini ada
khilaf diantara para ulamā dalam pembahasan usul fiqih, apakah hukum asal
kewajiban -secara umum- itu harus segera dilakukan (sampai ada dalil yang
menunjukan boeh ditunda), ataukah hukum asalnya bisa ditunda (sampai ada dalil
yang menyatakan harus segera)?
Pendapat yang kuat
bahwasanya segala perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla harus segera dilaksanakan
kecuali ada dalīl yang menunjukan bahwasanya perintah tersebut memiliki
kelonggaran waktu. Namun kalau tidak ada dalīl yang menunjukan kelonggaran
waktu maka kembali kepada hukum asal bahwasanya kewajiban harus segera
dilakukan, diantaranya adalah ibadah haji.
Rasūlullāh
shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkata, “Kalian berhaji kapan saja
boleh,” tidak ada dalīl seperti itu. Kemudian jika seandainya haji
boleh ditunda-tunda, maka tidak ada dalil yang menunjukan sejauh mana boleh
ditunda?, apakah 10 tahun?, 20 tahun? 30 tahun?, dan ini mengkonsekuensikan
jika seseorang tidak melaksanakan haji karena dia berencana 30 tahun berikutnya
baru berhaji dan ternyata 10 tahun kemudian dia keburu meninggal maka dia tidak
berdosa.!
Yang benar bahwasanya
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala menyuruh haji dan tatkala
Allāh menyuruh haji maka seorang harus segera berhaji.
Maksudnya apa? Ini
adalah dalīl kalau ada seorang telah memiliki kemampuan fisik maupun uang namun
dia menunda-nunda pelaksanaan ibadah haji maka dia berdosa dengan penundaannya
tersebut. Maka tidak benar perkataan seorang, “Saya nanti berhaji bila sudah
berumur 50 tahun, nanti saja kalau saya sudah pensiun baru saya berhaji,” tidak
boleh.
Kalau dia sudah punya
uang, sudah punya kemampuan maka langsung dia wajib untuk mendaftar. Kalau dia
tidak mendaftar maka penundaannya itu adalah bentuk berdosa kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Lihatlah semangat
seorang sahabat wanita Asmaa’ binti ‘Umais yang tatkala berhaji ia melahirkan
putranya di Dzulhlaifah yang bernama Muhammad bin Abi Bakar As-Shiddiiq. Tentu
dia tahu dia akan melahirkan, dan setelah melahirkan dia akan mengalami kondisi
yang berat untuk berhaji, apalagi safar dari Madinah ke Mekah kurang lebih 500
km, dan susahnya merawat sang putra, akan tetapi itu semua tidak menjadikannya
untuk menunda hajinya hingga tahun depan !! ([1])
Haji -menurut pendapat yang kuat-
disyari’atkan pada tahun 9 Hijriyah, karena ayat tentang diwajibkannya haji
yaitu firman Allah
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ
اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Dan wajib bagi
manusia untuk berhaji kepada Allāh bagi yang mampu” (QS Ali Imron : 97) turun
di ‘aamul wufud (tahun 9 Hijriyyah) yaitu tahun dimana Nabi shallallāhu ‘alayhi
wa sallam menerima para tamu, sehingga pada tahun tersebut Nabi memerintahkan
Abu Bakar untuk berhaji, sementara Nabi sendiri baru berhaji tahun depannya
yaitu tahun 10 Hijriyah. Ada beberapa sebab yang menjadikan nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam tidak berhaji pada tahun 9 Hijriyyah tapi hajinya pada tahun
10 Hijriyyah. Diantaranya :
Karena banyaknya
utusan (wufud/tamu-tamu) datang kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pada
tahun 9 Hijriyyah, sehingga tahun 9 Hijriyyah dikenal dengan amul wufud (tahun
untuk menerima utusan-utusan/tamu-tamu).
Dan banyak kaum
Muslimin yang datang dari berbagai penjuru datang menemui Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam, ingin belajar agama. Bahkan ada juga yang mungkin belum
Islām ingin mengenal islām.
Maka Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam menetap tahun 9 Hijriyyah tersebut untuk menerima tamu-tamu,
untuk mengajarkan islām kepada mereka. Dan tentu Rasūlullāh wajib untuk
menyampaikan dakwah untuk mengajarkan islām kepada kaum Muslimin, dan beliau
mendahulukan untuk menerima tamu-tamu dan mendahulukan untuk mengajarkan islām
atau bahkan ada yang ingin mengenal islām, sehingga Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam berhaji pada tahun berikutnya.
Karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
ingin kalau beliau berhaji murni untuk kaum Muslimin. Karena jika Nabi berhaji
sementara masih ada kaum musyrikin yang berhaji maka bisa jadi terjadi
kerancuan, padahal Nabi ingin menjadikan hajinya sebagai teladan. Sehingga
beliau berkata, ”Ambillah dariku tata cara manasik haji kalian”. Dan
tahun 9 Hijriyyah masih ada orang-orang musyrikin yang berhaji. Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak ingin beliau berhaji dengan orang-orang
musyrikin (beliau ingin berhaji dengan kaum muslimin saja).
Kita tahu bahwasanya
dahulu orang musyrikin berhaji, mereka melakukan kesyirikan dan kebid’ahan,
diantaranya talbiyah mereka bermuatan kesyirikan, diantara mereka ada yang
thowaf telanjang, dan diantara mereka (kaum Quraisy) wuqufnya di Muzdalifah dan
bukan di Arofah. Tentu ini semua bisa mengganggu konsentrasi kaum muslimin
untuk murni meneladani Nabi dalam berhaji.
Maka pada tahun 9
Hijriyyah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengutus Abū Bakar
Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu untuk berhaji terlebih dahulu untuk memberi
pengumuman dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam (yaitu memberi pengumuman
kepada penduduk kota Mekkah).
أَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ
يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ
“Setelah tahun ini
tidak boleh lagi ada seorang musyrik yang berhaji (setelah tahun 9 Hijriyyah
yaitu tahun 10 Hijriyyah) dan tidak boleh lagi ada orang yang telanjang yang
thawāf di Ka’bah.” (HR Al-Bukhari No. 369)
Oleh karenanya
setelah ada pengumuman ini, baru tahun berikutnya Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam kemudian berhaji bersama kaum muslimin saja. Ini dalīl yang
menguatkan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diwajibkan haji
pada tahun ke 9 Hijriyyah meskipun Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
baru bisa melaksanakannya pada tahun 10 Hijriyyah