Pertama : Sejarah saí
Asal disyariátkannya
saí adalah kisah Hajar (ibunya Ismaíl) yang melakukan saí antara bukit as-Shofa
dan bukit al-marwah karena mencari air atau pertolongan. Hal itu karena bekal
yang diletakan oleh Ibrahim untuk Hajar dan anaknya Ismaíl telah habis, lalu
Isma’il pun kehausan dan kesakitan. Akhirnya Hajar pun pergi ke bukit as-Shofa
dan bukit al-Marwah.
Ibnu Ábbas berkata :
أَوَّلَ مَا اتَّخَذَ النِّسَاءُ
المِنْطَقَ مِنْ قِبَلِ أُمِّ إِسْمَاعِيلَ، اتَّخَذَتْ مِنْطَقًا لِتُعَفِّيَ أَثَرَهَا
عَلَى سَارَةَ، ثُمَّ جَاءَ بِهَا إِبْرَاهِيمُ وَبِابْنِهَا إِسْمَاعِيلَ وَهِيَ تُرْضِعُهُ،
حَتَّى وَضَعَهُمَا عِنْدَ البَيْتِ عِنْدَ دَوْحَةٍ، فَوْقَ زَمْزَمَ فِي أَعْلَى
المَسْجِدِ، وَلَيْسَ بِمَكَّةَ يَوْمَئِذٍ أَحَدٌ، وَلَيْسَ بِهَا مَاءٌ، فَوَضَعَهُمَا
هُنَالِكَ، وَوَضَعَ عِنْدَهُمَا جِرَابًا فِيهِ تَمْرٌ، وَسِقَاءً فِيهِ مَاءٌ، ثُمَّ
قَفَّى إِبْرَاهِيمُ مُنْطَلِقًا، فَتَبِعَتْهُ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ فَقَالَتْ: يَا
إِبْرَاهِيمُ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الوَادِي، الَّذِي لَيْسَ فِيهِ
إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ؟ فَقَالَتْ لَهُ ذَلِكَ مِرَارًا، وَجَعَلَ لاَ يَلْتَفِتُ إِلَيْهَا،
فَقَالَتْ لَهُ: آللَّهُ الَّذِي أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَتْ: إِذَنْ
لاَ يُضَيِّعُنَا، ثُمَّ رَجَعَتْ، فَانْطَلَقَ إِبْرَاهِيمُ حَتَّى إِذَا كَانَ عِنْدَ
الثَّنِيَّةِ حَيْثُ لاَ يَرَوْنَهُ، اسْتَقْبَلَ بِوَجْهِهِ البَيْتَ، ثُمَّ دَعَا
بِهَؤُلاَءِ الكَلِمَاتِ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ: رَبِّ {إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ
ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ المُحَرَّمِ} – حَتَّى بَلَغَ
– {يَشْكُرُونَ} ” وَجَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تُرْضِعُ إِسْمَاعِيلَ وَتَشْرَبُ
مِنْ ذَلِكَ المَاءِ، حَتَّى إِذَا نَفِدَ مَا فِي السِّقَاءِ عَطِشَتْ وَعَطِشَ ابْنُهَا،
وَجَعَلَتْ تَنْظُرُ إِلَيْهِ يَتَلَوَّى، أَوْ قَالَ يَتَلَبَّطُ، فَانْطَلَقَتْ كَرَاهِيَةَ
أَنْ تَنْظُرَ إِلَيْهِ، فَوَجَدَتِ الصَّفَا أَقْرَبَ جَبَلٍ فِي الأَرْضِ يَلِيهَا،
فَقَامَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتِ الوَادِيَ تَنْظُرُ هَلْ تَرَى أَحَدًا فَلَمْ
تَرَ أَحَدًا، فَهَبَطَتْ مِنَ الصَّفَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الوَادِيَ رَفَعَتْ
طَرَفَ دِرْعِهَا، ثُمَّ سَعَتْ سَعْيَ الإِنْسَانِ المَجْهُودِ حَتَّى جَاوَزَتِ الوَادِيَ،
ثُمَّ أَتَتِ المَرْوَةَ فَقَامَتْ عَلَيْهَا وَنَظَرَتْ هَلْ تَرَى أَحَدًا فَلَمْ
تَرَ أَحَدًا، فَفَعَلَتْ ذَلِكَ سَبْعَ مَرَّاتٍ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَذَلِكَ سَعْيُ النَّاسِ بَيْنَهُمَا» فَلَمَّا
أَشْرَفَتْ عَلَى المَرْوَةِ سَمِعَتْ صَوْتًا، فَقَالَتْ صَهٍ – تُرِيدُ نَفْسَهَا
-، ثُمَّ تَسَمَّعَتْ، فَسَمِعَتْ أَيْضًا، فَقَالَتْ: قَدْ أَسْمَعْتَ إِنْ كَانَ
عِنْدَكَ غِوَاثٌ، فَإِذَا هِيَ بِالْمَلَكِ عِنْدَ مَوْضِعِ زَمْزَمَ، فَبَحَثَ بِعَقِبِهِ،
أَوْ قَالَ بِجَنَاحِهِ، حَتَّى ظَهَرَ المَاءُ، فَجَعَلَتْ تُحَوِّضُهُ وَتَقُولُ
بِيَدِهَا هَكَذَا، وَجَعَلَتْ تَغْرِفُ مِنَ المَاءِ فِي سِقَائِهَا وَهُوَ يَفُورُ
بَعْدَ مَا تَغْرِفُ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: ” يَرْحَمُ اللَّهُ أُمَّ إِسْمَاعِيلَ، لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ – أَوْ
قَالَ: لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ المَاءِ -، لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِينًا ”
قَالَ: فَشَرِبَتْ وَأَرْضَعَتْ وَلَدَهَا، فَقَالَ لَهَا المَلَكُ: لاَ تَخَافُوا
الضَّيْعَةَ، فَإِنَّ هَا هُنَا بَيْتَ اللَّهِ، يَبْنِي هَذَا الغُلاَمُ وَأَبُوهُ،
وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُضِيعُ أَهْلَهُ
Wanita pertama yang
menggunakan ikat pinggang adalah ibu Nabi Isma’il ‘Alaihissalam. Dia
menggunakannya untuk menghilangkan jejak dari Sarah kemudian Ibrahim
‘Alaihissalam membawanya berserta anaknya Isma’il yang saat itu ibunya masih
menyusuinya hingga Ibrahim ‘Alaihissalam menempatkan keduanya dekat Baitullah
(Ka’bah) pada sebuah pohon besar di atas zamzam di ujung al-masjidil Haram.
Waktu itu di Makkah tidak ada seorangpun yang tinggal di sana dan tidak ada
pula air. Ibrahim menempatkan keduanya disana dan meninggalkan sebuah kantung
berisi kurma dan sebuah kantung berisi air. Kemudian Ibrahim pergi untuk
meninggalkan keduanya. Maka Ibu Isma’il mengikutinya seraya berkata; Wahai
Ibrahim, kamu mau pergi kemana?. Apakah kamu (tega) meninggalkan kami di lembah
yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apapun ini. Ibu Isma’il
terus saja mengulang-ulang pertanyaannya berkali-kali, namun Ibrahim sama
sekali Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Akhirnya ibu Isma’il
bertanya; Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semuanya ini?. Ibrahim
menjawab: Ya. Ibu Isma’il berkata; Kalau begitu, Allah tidak akan
menelantarkan kami. Kemudian ibu Isma’il kembali dan Ibrahim melanjutkan
perjalanannya hingga ketika sampai pada sebuah bukit dimana Ibu Isma’il (Hajar)
tidak bisa melihatnya, maka Ibrahim menghadap ke arah Ka’bah lalu berdo’a untuk
mereka (untuk Hajar dan Isma’il) dengan do’a-do’a tersebut dengan mengangkat
kedua belah tangannya, katanya: Rabbi, (sesungguhnya aku telah menempatkan
sebagian dari keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di
dekat rumah-Mu yang disucikan) hingga sampai kepada (semoga mereka menjadi
hamba-hamba yang bersyukur) (QS Ibrahim ayat 37). Kemudian ibu Isma’il mulai
menyusui anaknya dan minum dari air persediaan hingga ketika air yang ada pada
kantung air habis dia menjadi haus begitu juga anaknya. Lalu dia memandang
kepada Isma’il sang bayi yang sedang meronta-ronta (atau: berguling-guling
diatas tanah). Kemudian Hajar pergi meninggalkan Isma’il dan tidak kuat melihat
keadaannya. Maka dia mendatangi bukit Shafaa sebagai gunung yang paling dekat
keberadaannya dengannya. Dia berdiri disana lalu menghadap ke arah lembah
dengan harapan dapat melihat orang di sana namun dia tidak melihat seorang pun.
Maka dia turun dari bukit Shafaa dan ketika sampai di lembah dia menyingsingkan
ujung pakaiannya lalu berusaha (yaitu berlari) keras layaknya seorang manusia
yang kepayahan hingga ketika dia dapat melewati lembah dan sampai di bukit
Marwah lalu beridiri di sana sambil melihat-lihat apakah ada orang di sana
namun dia tidak melihat ada seorang pun. Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh
kali (antara bukit Shafa dan Marwah). Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu berkata;
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Itulah (sebab
disyari’atkannya) sa’i yang dilakukan oleh manusia (yang berhaji/umroh) antara
kedua bukit itu. Ketika berada di puncak Marwah, dia mendengar ada suara,
lalu dia berkata, “Diamlah !” yang Hajar maksud adalah menyuruh dirinya sendiri
untuk diam. Kemudian dia berusaha mendengarkanya maka dia dapat mendengar suara
itu lagi maka dia berkata; “Engkau telah memperdengarkan suaramu jika
engkau bermaksud memberi pertolongan (maka berilah pertolongan)”. Ternyata
suara itu adalah suara malaikat (Jibril ‘Alaihissalam) yang berada di dekat
zamzam, lantas Jibril mengais air dengan tumitnya atau katanya; dengan sayapnya
hingga air keluar memancar. Ibu Isma’il mulai membendung air (menjadikan air
zamzam seperti danau kecil) dengan tangannya seperti ini, dan iapun menciduk
air dan memasukkannya ke kantong air sedangkan air terus saja memancar setelah
diciduk. Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Semoga Allah merahmati Ummu Isma’il (Siti Hajar)
karena kalau dia membiarkan zamzam” atau sabda Beliau: “Kalau dia
tidak menciduk air tentulah air zamzam itu akan menjadi air yang mengalir”.
Akhirnya dia dapat minum air dan menyusui anaknya kembali. Kemudian malaikat
berkata kepadanya: Janganlah kalian takut ditelantarkan karena disini
adalah rumah Allah, yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya dan
sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya. (HR Al-Bukhari no 4464)
Kedua : Hikmah disyariátkannya saí
Hikmahnya adalah
untuk mengenang kisah bersejarah Hajar, bagaimana ketaatannya kepada Allah dan
bagaimana ia tidak putus asa untuk meraih pertolongan Allah.
Ibnu Ad-Daqiiq
-tatkala menjelaskan tentang hikmahnya ar-Romal- berkata :
وَفِي ذَلِكَ مِنْ الْحِكْمَةِ
تَذَكُّرُ الْوَقَائِعِ الْمَاضِيَةِ لِلسَّلَفِ الْكِرَامِ، وَفِي طَيِّ تَذَكُّرِهَا:
مَصَالِحُ دِينِيَّةٌ. إذْ يَتَبَيَّنُ فِي أَثْنَاءِ كَثِيرٍ مِنْهَا مَا كَانُوا
عَلَيْهِ مِنْ امْتِثَالِ أَمْرِ اللَّهِ تَعَالَى، وَالْمُبَادَرَةِ إلَيْهِ، وَبَذْلِ
الْأَنْفُسِ فِي ذَلِكَ. وَبِهَذِهِ النُّكْتَةِ يَظْهَرُ لَكَ أَنَّ كَثِيرًا مِنْ
الْأَعْمَالِ الَّتِي وَقَعَتْ فِي الْحَجِّ، وَيُقَالُ فِيهَا ” إنَّهَا تَعَبُّدٌ
” لَيْسَتْ كَمَا قِيلَ. أَلَا تَرَى أَنَّا إذَا فَعَلْنَاهَا وَتَذَكَّرْنَا أَسْبَابَهَا:
حَصَلَ لَنَا مِنْ ذَلِكَ تَعْظِيمُ الْأَوَّلِينَ، وَمَا كَانُوا عَلَيْهِ مِنْ احْتِمَالِ
الْمَشَاقِّ فِي امْتِثَالِ أَمْرِ اللَّهِ، فَكَانَ هَذَا التَّذَكُّرُ بَاعِثًا لَنَا
عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ، وَمُقَرِّرًا فِي أَنْفُسِنَا تَعْظِيمَ الْأَوَّلِينَ. وَذَلِكَ
مَعْنًى مَعْقُولٌ. مِثَالُهُ: السَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ. إذَا فَعَلْنَاهُ
وَتَذَكَّرْنَا أَنَّ سَبَبَهُ: قِصَّةُ هَاجَرَ مَعَ ابْنِهَا، وَتَرْكُ الْخَلِيلِ
لَهُمَا فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ الْمُوحِشِ مُنْفَرِدَيْنِ مُنْقَطِعَيْ أَسْبَابِ الْحَيَاةِ
بِالْكُلِّيَّةِ، مَعَ مَا أَظْهَرهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُمَا مِنْ الْكَرَامَةِ،
وَالْآيَةِ فِي إخْرَاجِ الْمَاءِ لَهُمَا – كَانَ فِي ذَلِكَ مَصَالِحُ عَظِيمَةٌ.
أَيْ فِي التَّذَكُّرِ لِتِلْكَ الْحَالِ. وَكَذَلِكَ ” رَمْيُ الْجِمَارِ ” إذَا فَعَلْنَاهُ،
وَتَذَكَّرْنَا أَنَّ سَبَبَهُ: رَمْيُ إبْلِيسٍ بِالْجِمَارِ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ
عِنْدَ إرَادَةِ الْخَلِيلِ ذَبْحَ وَلَدِهِ: حَصَلَ مِنْ ذَلِكَ مَصَالِحُ عَظِيمَةُ
النَّفْعِ فِي الدِّينِ.
“Dan pada hal ini ada
hikmah yaitu mengingat peristiwa-peristiwa lampau yang dilakukan oleh para
salaf yang mulia. Dengan mengingat peristiwa-peristiwa tersebut memunculkan
kemashlahatan-kemashlahatan agama. Yaitu menjadi jelas bagaimana pada
peristiwa-peristiwa tersebut bagaimana ketundukan orang-orang terdahulu dalam
menjalankan perintah Allah dan bersegera dalam menjalankannya serta pengorbanan
jiwa dalam melaksanakannya. Dengan demikian jelaslah bahwa banyak amalan
kegiatan haji yang dikatakan bahwa hikmahnya adalah sekedar menjalankan
perintah Allah adalah ternyata tidak demikian. Tidakkah engkau lihat, jika kita
melakukan amalan-amalan haji, lalu kita mengingat sebab terjadinya amalan
tersebut maka kita akan mengingat agungnya orang-orang terdahulu, bagaimana
kesabaran mereka dalam memikul kondisi-kondisi yang berat dalam menjalankan
perintah Allah. Maka mengingat hal ini memotivasi kita untuk mencontohi mereka,
menetapkan dalam jiwa kita pengagungan terhadap orang-orang terdahulu. Dan ini
merupakan kandungan makna yang dipahami. Contohnya (juga) adalah saí antara
bukit as-Shofa dan bukit al-Marwah. Jika kita mengerjakannya dan kita mengenang
bahwa sebabnya yaitu kisah Hajar bersama putranya (Ismaíl) dimana Ibrahim
meninggalkan mereka berdua di tempat tersebut yang sunyi dalam kondisi keduanya
sendirian dan terputus secara total dari seluruh sebab-sebab kehidupan, lalu
Allah menampakan karomah bagi mereka berdua, dan mukjizat keluarnya air zam-zam
bagi mereka berdua, maka yang demikian itu adalah kemashlahatan-kemashlahatan
yang agung yaitu dalam mengenang kondisi tersebut. Demikian juga melempar
kerikil di jamaarot, jika kita mengerjakannya dan mengingat sebabnya yaitu
Ibrahim melempar kerikil-kerikil kepada Iblis di lokasi-lokasi tersebut tatkala
Ibrahim hendak menyembelih putranya, maka akan timbul kemashlahatan yang besar
manfaatnya dalam agama” (Ihkaam Al-Ahkaam 2/72)
Asy-Syingqithi
rahimahullah berkata :
وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: «فَذَلِكَ سَعْيُ النَّاسِ بَيْنَهُمَا»
، فِيهِ الْإِشَارَةُ الْكَافِيَةُ إِلَى حِكْمَةِ السَّعْيِ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ
; لِأَنَّ هَاجَرَ سَعَتْ بَيْنَهُمَا السَّعْيَ الْمَذْكُورَ، وَهِيَ فِي أَشَدِّ
حَاجَةٍ، وَأَعْظَمِ فَاقَةٍ إِلَى رَبِّهَا، لِأَنَّ ثَمَرَةَ كَبِدِهَا، وَهُوَ وَلَدُهَا
إِسْمَاعِيلُ تَنْظُرُهُ يَتَلَوَّى مِنَ الْعَطَشِ فِي بَلَدٍ لَا مَاءَ فِيهِ، وَلَا
أَنِيسَ، وَهِيَ أَيْضًا فِي جُوعٍ، وَعَطَشٍ فِي غَايَةِ الِاضْطِرَارِ إِلَى خَالِقِهَا
جَلَّ وَعَلَا، وَهِيَ مِنْ شِدَّةِ الْكَرْبِ تَصْعَدُ عَلَى هَذَا الْجَبَلِ فَإِذَا
لَمْ تَرَ شَيْئًا جَرَتْ إِلَى الثَّانِي فَصَعِدَتْ عَلَيْهِ لِتَرَى أَحَدًا، فَأُمِرَ
النَّاسُ بِالسَّعْيِ بَيْنَ الصَّفَا، وَالْمَرْوَةِ لَيَشْعُرُوا بِأَنَّ حَاجَتَهُمْ
وَفَقْرَهُمْ إِلَى خَالِقِهِمْ وَرَازِقِهِمْ كَحَاجَةِ وَفَقْرِ تِلْكَ الْمَرْأَةِ
فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ الضَّيِّقِ، وَالْكَرْبِ الْعَظِيمِ إِلَى خَالِقِهَا وَرَازِقِهَا،
وَلِيَتَذَكَّرُوا أَنَّ مَنْ كَانَ يُطِيعُ اللَّهَ كَإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ وَعَلَى
نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا يُضَيِّعُهُ، وَلَا يُخَيِّبُ دُعَاءَهُ وَهَذِهِ
حِكْمَةٌ بَالِغَةٌ ظَاهِرَةٌ دَلَّ عَلَيْهَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ
“Sabda Nabi
shallallahu álaihi wasallam dalam hadits ini “Maka itulah kenapa orang-orang
melakukan saí diantara as-Shofa dan al-Marwah” padanya ada isyarat yang cukup
akan hikmahnya saí diantara as-Shofa dan al-Marwah. Karena Hajar telah
melakukan saí tersebut antara keduanya. Sementara ia dalam kondisi sangat
perlu dan sangat faqir kepada Rabbnya. Hal ini karena ia memandang buah hatinya
-yaitu putranya Ismaíl- dalam kondisi menggeliat keseakitan karena kehausan di
negeri yang tidak terdapat air sama sekali, dan tidak ada seorangpun. Demikian
juga Hajar juga dalam kondisi lapar dan haus, yaitu dalam kondisi benar-benar
darurat membutuhkan Rabbnya. Dalam kondisi sangat menderita maka iapun naik di
atas bukit tersebut, tatkala ia tidak melihat apapun maka itupun berlari menuju
dan naik ke bukit kedua untuk melihat apakah ada orang. Maka orang-orangpun
diperintahkan untuk saí diantara As-Shofa dan al-Marwah agar mereka menghayati
bahwasanya kebutuhan mereka dan kefaqiran mereka kepada Pencipta mereka dan Pmeberi
rizki mereka seperti kebutuhan dan kefaqiran sang wanita tersebut di waktu yang
genting dan penderitaan yang besar tersebut kepada Rabbnya dan Pemberi
rizkinya. Agar mereka ingat bahwasanya barang siapa yang taat kepada Allah
seperti Ibrahim álaihis salam tidak akan ditinggalkan oleh Allah, tidak akan
disia-siakan doanya. Ini merupuan hikmah yang tinggi yang jelas yang ditunjukan
oleh hadits yang shahih” (Adhwaaul Bayaan 4/480-481)
Al-Útsaimin berkata :
فَالإِنْسَانُ إِذَا سَعَى
يَسْتَحْضِرُ أَوَّلاً: سُنَّةَ الرَّسُوْلِ ـ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ، وَثَانِياً:
حَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةِ وَأَنَّهَا وَقَعَتْ فِي شِدَّةٍ عَظِيْمَةٍ حَتَّى أَنْجَاهَا
اللهُ، فَأَنْتَ الآنَ فِي شِدَّةٍ عَظِيْمَةٍ مِنَ الذُّنُوْبِ فَتَسْتَشْعِرُ أَنَّكَ
تَحْتَاجُ إِلَى مَغْفِرَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ـ كَمَا احْتَاجَتْ هَذِهِ الْمَرْأَةُ
إِلَى الْغِذَاءِ، وَاحْتَاجَ وَلَدُهَا إِلَى اللَّبَنِ
“Seseorang ketika saí
hendaknya ia mengadirkan, (yang pertama) ini adalah sunnah Rasulullah
shallallahu álaihi wasallam. (yang kedua) hendaknya mengingat kondisi wanita
ini (yaitu Hajra) yang berada dalam kondusi yang sangat genting hingga
diselamatkan oleh Allah. Maka engkau sekarangpun dalam kondisi yang amat
genting karen dosa-dosamu, maka engkaupun menghadirkan dalam hatimu bahwa
engkau sangat membutuhkan ampunan Allah Azza wa Jalla sebagimana sang wanita
ini membutuhkan makanan, dan demikian pula putranya yang membutuhkan susu”
(Asy-Syarh Al-Mumti’ 7/271)
Ketiga : Saí adalah rukun haji dan umroh.
Allah berfirman :
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ
مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
Sesungguhnya Shafaa
dan Marwa adalah sebahagian dari syi´ar Allah (QS Al-Baqoroh : 158)
Jika shofa dan Marwa
merupakan syiár Allah, maka syiár Allah adalah perkara yang agung, maka tentu
tidak boleh menggampangkannya, dan jelas saí antara keduanya merupakan perkara
yang harus dalam manasik (haji dan umroh).
Ketika Nabi
shallallahu álaihi wasallam melakukan saí dan beliau naik di bukit Shofa maka
beliau membaca ayat ini, lalu beliau berkata, أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Aku mulai dengan apa yang Allah mulai terlebih dahulu” (HR Muslim no 1218)
Keempat : Hukum-hukum
yang berkaitan dengan saí
Pertama : Tidak
disyariátkan saí kecuali ketika umroh dan haji.
Sehingga tidak ada
yang namanya saí sunnah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata
لِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ
عَلَى أَنَّ التَّطَوُّعَ بِالسَّعْيِ لِغَيْرِ الْحَاجِّ وَالْمُعْتَمِرِ غَيْرُ مَشْرُوعٍ
“Karena ijmak kaum
muslimin bahwasanya melakukan sunnah saí tidaklah disyariátkan untuk selain
orang yang berhaji dan berumroh” (Fathul Baari 3/499)
Hal ini berbeda
dengan thowaf yang seseorang boleh berthowaf sunnah secara independent meskipun
tidak sedang umroh maupun haji.
Kedua : Disunnahkan
al-muwaalaat antara sái dan thowaf.
Yaitu
berkesinambungan dan besambung antara saí dan thowaf, yaitu saí dilakukan
langsung setelah thowaf, akan tetapi hal ini tidaklah wajib, karena saí
merupakan ibadah yang independent (berdiri sendiri). Dan ini adalah pendapat
madzhab Hanafi, madzhab Syafií, dan madzab Hanbali .
Karenanya jika
seseorang sedang umroh, lalu ia melakukan thowaf, setelah itu ia letih dan
istirahat dan baru melanjutkan saí keesokan harinya maka tidaklah mengapa.
Tentunya ia masih dalam kondisi berihram.
Ketiga : Disunnahkan
al-muwaalaat antara putaran saí yang satu dengan yang lain.
Akan tetapi hal ini
tidaklah wajib . Karena yang dituntut adalah melakukan saí sebanyak
7 putaran, maka kapan saja terwujudkan ketujuh putaran tersebut -baik
berkesinambungan atau terpisah-pisah-, maka telah saí. Yaitu seseorang
disunnahkan untuk melakukan putaran saí yang pertama hingga yang ketujuh secara
bersambung, akan tetapi jika seseorang baru melakukan 2 putaran saí, lalu iapun
pergi untuk buang air, setelah itu ia kembali melanjutkan putaran saí yang
ketiga dan seterusnya maka tidaklah mengapa.
Keempat : Saí harus
melewati antara kedua bukit tersebut.
Dalam artian
seseorang harus menginjakan kakinya di bukit shofa dan bukit marwa. Jika ia
saínya kurang dari pada itu maka tidak sah. Namun tidak harus naik ke atas
bukit , naik ke atas bukit hukumnya sunnah. Jika seseorang telah
sampai di pagar yang dipasang buat orang-orang yang saí dengan kursi roda maka
telah sah, karena ujung pagar tersebut berada di awal/lereng bukit shofa maupun
bukit Marwa .
Kelima : Saí harus 7
putaran
Jika kurang dari 7
putaran maka tidak sah . Metode menghitung 7 putaran, dari sofa ke
marwa 1 putaran dan dari marwa ke sofa putaran kedua.
Keenam : Saí harus
dikerjakan setelah thowaf.